Bertugas di Maluku, mengharuskan saya untuk memahami budaya masyarakatnya. Tanpa pemahaman yang baik maka kerja dan tugas kita tidak akan berbuah maksimal. Justru bisa kontraproduktif dengan masyarakat itu sendiri.
Ada contoh kasus menarik. Waktu itu saya masih berada di Bula1 , sambil menunggu penempatan tugasku di pulau Kesui. Ketika bertakziyah ke rumah seorang pasien yang meninggal dunia setelah satu minggu di rawat di puskesmas Bula. Pasien itu seorang nenek jawa usia enam puluh tahunan. Dulu sewaktu mudanya ikut transmigrasi ke Kobisonta bersama suaminya. Sayalah yang merawatnya selama di puskesmas. Diagnosis sakitnya ialah Koma Hepatikum derajad 3. Koma adalah kondisi tubuh dimana tingkat kesadarannya sangat menurun sampai pada titik terendahnya sehingga ia tidak mampu lagi merespon seluruh rangsangan dari lingkungan di luar tubuhnya. Komanya sendiri pada nenek ini disebabkan karena adanya kerusakan pada jaringan hatinya (hepar). Hatinya sudah mengkerut sehingga sudah tidak bisa berfungsi lagi. Penyebabnya bisa karena virus hepatitis, bakteri atau pada peminum minuman keras (alkoholik). Kemungkinan terbesar penyebab pada nenek ini adalah serangan virus hepatitis yang sudah kronis. Padahal hati ini sangat fital bagi tubuh kita terutama untuk menetralisir toksik-toksik (racun) yang beredar di peredaran darah kita. Saat racun-racun itu tidak bisa dinetralisir maka racun-racub itu akan masuk lagi ke peredaran darah kita. Meracuni tubuh kita sendiri. Gejalanya bisa kita lihat dengan kulit tubuhnya yang menguning, putih matanya ikut menguning, tumpah-tumpah sampai gejala kesadarannya menurun karena racunnya sudah sampai ke otak. Itulah koma hepatikum.
“Bagaimana Dok, apakah sakit nenek bisa sembuh?” tanya anaknya penasaran.
“Bu, kami tidak bisa menjanjikan kesembuhan untuk nenek Ibu. Kami hanya bisa berusaha sekuat mungkin dengan peralatan dan obat-obat yang kami miliki di Bula. Namun jika ibu menanyakan kemungkinan kesembuhannya, berdasarkan pengalaman dan penelitian apabila ada pasien dengan sakit seperti ini, apabila ada 10 pasien yang dirawat maka dua diantaranya bisa sembuh dengan perawatan yang maksimal. Sedangkan delapan pasien lainnya akan terjadi penurunan kondisi tubuhnya sampai meninggal dunia.”
“Dokter, mudah-mudahan nenek kami bisa sembuh. Apapun obat yang diperlukan, kami akan mengusahakan membelinya.”
“Iya Bu. Bismillah. Kami akan berusaha sebaik mungkin. Mudah-mudahan nenek termasuk dari dua orang yang bisa sembuh diantara 10 lainnya. Apapun hasilnya, Allah lah yang menjadi penentu dalam takdirnya. Yang penting kita sudah berikhtiar sekuat kita. Saya harap ibu dan keluarga bisa bersabar dan selalu berdoa. Bantulah nenek dengan bacaan-bacaan doa dan qur’an untuk menenangkannya.”
“Iya Dok. Terimakasih banyak.”
Sudah saya coba untuk memberikan terapi yang maksimal. Satu minggu dirawat tidak ada kemajuan, hanya nafas yang tersengal dengan oksigen bantuan selalu terpasang. Hidupnya kini tergantung dengan infuse cairan dan asupan makanan saring lewat slang ke lambungnya. Akhirnya keluarga meminta pasien untuk di bawa pulang ke rumah. Prosedurnya adalah pulang paksa berdasarkan pernyataan tertulis ahli keluarga yang akan menanggung segala akibatnya, bukan lagi pihak tanggung jawab pihak puskesmas.
“Ndak apa-apa Dokter, kami sudah pasrah.”
Siang itu juga nenek jawa itu dibawa pulang ke rumahnya diantar ambulan puskesmas.
“Ibu, kalaupun perlu bantuan saya. Ibu bisa menghubungi saya lewat HP saya. Ini nomernya.”, pesanku kepada anaknya sambil menuliskan nomor telepon saya di secarik kertas resep obat.
Selang satu hari nenek jawa pulang ke rumahnya, ajal telah menjemputnya. Saya sempat ditelepon oleh anaknya, meminta tolong untuk segera dating ke rumahnya. Nafas neneknya semakin tersengal lapornya. Saya segera meluncur dengan sepeda motor dinas puskesmas. Saat saampai ke rumahnya, tangisan dari dalam ruangan keras terdengar. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un. Pasien koma itu telah meningal.
Malam harinya, saya mengajak dr. Maschun, teman sejawat satu tim dokter PTT SBT untuk bertakziyah ke rumah duka. Saat kita masuk ke dalam ruang tamunya ternyata sedang diadakan acara tahlilan. Karena sudah terlanjur masuk dan untuk menghormati tuan rumah kami segera menempatkan diri mengikuti tahlil.
Masya Allah, ternyata acara tahlil di sini masih tercampuri dengan unsur kesyirikan. Padahal kegiatan tahlilan itu sendiri sudah termasuk masalah yang kontroversial secara fikih. Apalagi jika dihubungkan dengan hitungan hari setelah meningal almarhum. Sama sekali tidak ada dasarnya dalam agama. Setahu saya ini kan warisan budaya hindu kuno. Islam itu mudah. Justru doa yang paling afdhol bagi almarhum adalah do’a anak-anaknya yang sholeh. Bacaan qur’an anak-anaknya pun insya Allah bisa menjadi hadiah bagi almarhum.
Tapi kenyataan yang terjadi di masyarakat ya begini ini. Mencampur adukan agama dan tradisi tanpa dasar yang jelas. Inilah yang paling berbahaya. Bukankah semua amalan sebanyak apapun tidak akan diterima Allah jika tidak sesuai dengan cara yang dicontohkan Rasulullah dan dengan niat yang ikhlas. Mengapa kita harus mempersulit diri dengan membuat berbagai macam hidangan yang diada-adakan untuk menjamu dalam setiap acara tahlilan. Bagikan saja ke tetangga-tetangga kita yang kelaparan dan kekurangan, tidak usah menunggu-nunggu kalau ada acara tahlilan saja. Itu kalau mereka yang miskin diundang, kalau tidak? Kasihan kan. Apalagi kalau memang kita bukan orang yang mampu harus memaksakan diri menyediakan hidangan standar sampai berhutang kesana-kemari. Bukankah tanpa hidangan makanan pun, Allah pasti akan mendengar doa hambanya. Pikiran-pikiran inilah yang terbayang dalam anganku saat semua undangan kompak mengucapkan lafal-lafal tahlil dengan penuh semangat.
“Laa Ilaha illa Allah!……”
Di depan pak Imam tersanding dupa dengan bakaran kemenyan dan segelas air putih (untuk arwah almarhumah barangkali). Berkali-kali saat tahlil berlangsung, serbuk kemenyan putih ditaburkan ke dalam dupa itu. Asap pun bertambah mengepul. Asapnya menari-nari memenuhi ruangan mencari celah untuk keluar. “Ya Allah, cara apa lagi ini?” Apalagi saat asap tebal itu berkali-kali menerpa wajah saya. Sunguh tersiksa. Saya mencoba meniup-niup kecil untuk mengusir asap nakal itu. Bah, buh, buh,… Bukannya khusyuk tetapi justru akan menambah polusi udara. Malah bisa meracuni paru kita. Apakah Rasulullah pernah mengajarkan ini? Saya yakin tidak! Saya kira dulu orang tua kita membakar kemenyan untuk mengharumkan ruangan, bukan untuk membantu mengantarkan doa-doa kita ke langit. Nah sekarang kan sudah jaman moderen, kita bisa menggunakan parfum untuk mengharumkan ruangan sesuai selera kita. Dan yang pasti tidak akan pernah ada parfum aroma bakaran kemenyan buatan pabrik. Tidak bakalan laku Bung!
Di samping saya, duduk dr. Maschun. Ia seorang ikhwah2 cerdas yang berasal dari keluarga muhammadiyah tulen. Pastinya tidak terbiasa dengan acara tahlil seperti ini. Ia duduk tenang sambil menunduk dalam. Tidak satupun lafal-lafal tahlil ia ucapkan. Saat berdoapun tangannya pun tak diangkatnya. Bibirnya berkomat-kamit, mungkin hanya istighfar yang berkali-kali diucapkannya.
Setelah tahlil selesai, tiba-tiba pak imam kampung yang tadi memimpin acara tahlil angkat bicara. Dengan nada tinggi dan muka tegang menghardik beberapa orang diantara kami. Bahasa yang dipakai bahasa daerah asli pulau Seram, kami yang dari jawa tidak paham. Meski begitu ada beberapa penggal kalimat yang aku tangkap saat pak imam menyebut-nyebut “tiga orang kristen ikut tahlil!”. Aku semakin tidak paham, dengan santainya saya tetap meminum teh panas yang dihidangkan. “Waduh, jangan-jangan yang dimaksud pak imam kampong itu adalah saya dan dr. Maschun”, batinku. Buktinya saat meluapkan amarahnya matanya selalu memandang ke arah saya, dr. Maschun dan seorang lagi undangan yang hadir. Nada suara pak imam semakin keras menggelegar! Saya dan dr. Maschun cuma saling bertatap pandang. Ada apa ini sebenarnya?
Saya mengira, pak imam marah karena tadi dr. Maschun dan saya tidak mengikuti tahlil dengan baik. Tidak melafalkan dan tidak ikut berdoa bersama dengan suara yang keras dan kompak! Marah pak imam yang panjang, bla bla bla, mulai reda. Seorang jawa yang paling tua kemudian meminta maaf kepada pak imam kemudian menerjemahkan untuk kami permasalahan yang menjadi hati pak imam tidak berkenan. Ternyata hanya gara-gara kami : saya, dr. Maschun dan seorang jawa tidak mengenakan ‘KOPIAH’ di kepala saat acara tahlil berlangsung. Masya Allah, begitu sempitnya pemikiran seperti ini. Hanya gara-gara tidak memakai kopiah sudah dikatakan sebagai orang kristen dan kafir! Na’udzubillah.
Dr. Maschun segera angkat bicara, maklum dia ini jebolan aktivis mahasiswa. Sewaktu kuliah dia adalah ketua Jama’ah Salahuddin Gajah Mada.
“Di Jawa tidak seperti ini Pak Imam. Kami orang yang baru datang di Bula. Kami minta maaf.”,sambil melirik ke arah saya.
Saya hanya tersenyum menghabiskan teh panas yang masih tersisa. Sebenarnya dr. Maschhun hendak melanjutkan perdebatannya namun saya memberi isyarat untuk segera pulang. Saya rasa debat saat suasana seperti kurang tepat. Kami segera pamit kepada pak imam dan tuan rumah. Ternyata tuan masih mau menahan kita disini umtuk mengikuti acara khataman Al Qur’an untuk dikirimkan bacaannya ke almarhumah. Wah, kalau ikut acara ini bisa tersiksa lagi kita batinku.
“Iya Pak Imam, kami minta maaf juga. Sekarang kami mau minta pamit untuk pulang. Kami harus segera pulang ke puskesmas karena ada pasien gawat yang sedang kami rawat.”, segera saya menegaskan.
Kami pulang. Sepanjang perjalanan kami saling cerita kejadian lucu saat kejadian tahlil tadi berlangsung. Inilah fenomena Islam di Bula, orang meradang ketika kita tidak memakai kopiah di kepala. Bahkan sampai dikatakan sebagai orang kafir segala. Padahal di luar sana saat masjid mengu,andangkan adzan, orang-orang berkeliaran dan bersibuk-sibuk diri tidak mau mengerjakan sholat. Bukannya orang-orang seperti inilah yang diingatkan oleh Rasulullah melalui haditsnya bahwa pemisah antara orang beriman dan kafir adalah sholat. Jadi yang digolongkan sebagai orang kafir adalah orang yang tidak mau mengerjakan sholat, bukan orang yang yang tidak memakai kopiah! PR besar bagi kita semua untuk memahamkan Islam secara bersih dan benar kepada masyarakat.
Disinilah perlunya kita memahami tradisi di masyarakat. Ini baru salah satu permasalahan yang kita jumpai di permukaan. Masih banyak tradisi-tradisi masyarakat yang bertentangan dengan ajaran Islam sesungghnya namun tumbuh dengan suburnya. Fenomena syirik, bid’ah dan takhayul inilah yang masih banyak merebak di masyarakat. Masalah ini diperberat dengan semangat ‘tholabul ‘ilmi’ generasi mudanya yang rendah. Klop sudah. Menjadi lingkaran setan yang repot dicari solusinya.
Saya jadi teringat dengan penyakit yang diderita nenek jawa kemarin. Ada pelajaran yang bisa kita ambil dari sakitnya. Jangan-jangan umat kita sedang menderita sakit koma hepatikum. Iya, umat sekarang memang sedang terjangkit virus-virus kejahiliyahan. Virus syirik, bid’ah dan takhayul akhir-akhir ini gencar menyerang masyarakat. Saya khawatir jika penyakit umat ini tidak segera diobati maka nantinya umat ini akan menderita penyakit hati yang kronis. Mata hatinya mati tidak bisa menangkap kebenaran hakiki. Jatuh dalam jurang kehancuran. Coba ingat isi berita-berita di Koran sore kemarin, bukankah kita Negara terkorup di dunia nomer tiga. Negara yang paling subur dijadikan sasaran narkoba. Ditambah prestasi nomer dua dari pornografi sedunia! Umat ini sedang sakit hatinya dan mungkin akan mati karena koma hepatikum menyerangnya. Na’udzubillah min dzalik.
Memahami tradisi memang sangat penting agar langkah-langkah kita tidak kontra produktif dengan masyarakat. Namun tatkala tradisi-tradisi itu berbau syirik, bid’ah dan takhayul, apakah masih tetap kita toleransi?
Saya tidak perlu menjawabnya disini. Saya hanya menginginkan semakin banyak da’I dan murabbi yang dikirim di bumi Maluku ini. Hanya dengan da’I dan murabbi-murabbi inilah kita bisa mengatasi semua permasalahan pelik itu. Tidak sekedar menjadi polemic yang justru hanya menimbulkan kontraproduktif baru. Dengan da’I dan murabbi, pelan tapi pasti semua tradisi-tradisi yang tidak baik akan diluruskan melalui generasi-generasi yang terbina dengan sendirinya. Dan perlu di ingat, selama tradisi-tradisi itu masih tumbuh subur maka pembangunan apapun yang dilakukan di sini tidak akan barokah. Maka : lahirnya satu generasi baru itu adalah sebuah kewajiban dan keniscayaan. Generasi tarbiyah yang mampu menyelamatkannya! (Kesui, 25 Mei 2006)